Jumat, 17 Agustus 2012

Silat Betawi - tempo doeloe dan masa depan


By indosilat
sejak dahulu Jakarta sudah menjadi kota cosmopolitan tempat dimana pertemuan berbagai ragam budaya, suku bangsa, seperti suku-suku dari daerah – daerah di Nusantara hingga bangsa lain seperti Arab, Melayu, India, Cina, Portugal, Belanda dan lain-lainnya.
Oleh : Yanweka 
Mengenang pencak silat betawi tidak terlepas dari sejarah perkembangan dan dinamika kota Jakarta tempo doeloe, sejak dahulu Jakarta sudah menjadi kota cosmopolitan tempat dimana pertemuan berbagai ragam budaya, suku bangsa, seperti suku-suku dari daerah – daerah di Nusantara hingga bangsa lain seperti Arab, Melayu, India, Cina, Portugal, Belanda dan lain-lainnya. 
Sejak Sunda kelapa (1527) dikuasai oleh pasukan Demak yang dipimpin Fatahillah, lahirlah Jayakarta, yang saat ini setiap tahun diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta pada tanggal 22 Juni. Perjalanan panjang sejarah Jakarta berimpilikasi pada masyarakat yang mendiaminya, menurut ahli Antroplog Universitas Indonesia, Dr Yasmin Zaki Shahab MA, memperkirakan etnis betawi terbentuk sekitar tahun 1815-1893. Oleh sebab itu orang betawi sebenarnya terhitung sebagai pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lainnya yang sudah terlebih dahulu hidup di Jakarta seperti orang sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon dan melayu. 
Kemajemukan ini pula yang menyebabkan terjadinya pertukaran seni, budaya, adat istiadat hingga ilmu beladiri yang berkembang saat itu atau yang lebih popular dengan istilah “Maen Pukulan” (silat), Silat diperkirakan sudah ada sejak abad ke 16 dimana masyarakat setempat (Jayakarta) pada masa itu sering mempertunjukkan seni silat di saat pesta perkawinan atau khitanan(sunatan). Hal ini memperkuat dugaan bahwa silat tidak hanya berfungsi sebagai ilmu beladiri namun sudah menjadi suatu produk sosial, seni budaya yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari. 
Pencak Silat telah mewarnai kehidupan masyarakat betawi, dimana silat atau maen pukulan adalah hal yang wajib dipelajari, silat betawi terkenal dengan aliran-alirannya yang merunut pada asal kampung atau daerah perkembangannya. Hal ini menurut Prof Dr Parsudi Suparlan, “bahwa masyarakat betawi dalam pergaulannya sehari-hari, lebih sering menyebut dirinya berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong”. Karena pada saat itu kesadaran sebagai masyarakat betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu belum begitu mengakar. Baru pada tahun 1923 Moh Husni Thamrin dan tokoh masyarakat betawi mendirikan Perkumpulan Kaum Betawi di masa Hindia belanda telah menyadarkan segenap orang betawi sebagai sebuah golongan (kelompok etnis sebagai satuan sosial dan politik yang lebih luas) sebagai golongan orang Betawi. 
Dari penjelasan diatas terdapat relevansi, bila silat betawi dikenal dengan asal daerahnya seperti silat Kemayoran, silat Tanah Abang , silat Rawabelong dan masing banyak lainnya yang menjurus pada jago – jago di setiap kampung. Bila menyelidik lebih jauh kedalam kampung betawi maka sejak jaman dahulu hampir di setiap kampung terdapat jagoan, mereka tidak hanya menjaga kampung, mereka juga cukup disegani karena tingkah lakunya yang terpuji. Pesilat atau jago “maen pukulan” ini menggunakan ilmu beladiri untuk perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak manusia ke jalan yang benar dan menjauhi kezaliman). Menurut H. Irwan Sjafi’e, ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), keberadaan mereka sangat di hormati dan hubungan dengan alim ulama pun sangat erat, sehingga jagoan dan alim ulama adalah orang yang terhormat di dalam masyarakat betawi. 
Cerita kepahlawanan para jago silat dimasa itu cukup menarik disimak, pada umumnya mereka membela rakyat kecil dan melindungi kampung dimana mereka tinggal, sebut saja “Sabeni” pendekar legendaris dari Tanah Abang yang hidup sebelum perang dunia kedua, Sabeni lahir sekitar tahun 1860 di Kebon Pala Tanah Abang dari orang tua bernama Hannam dan Piyah. Menurut Bang Izul (salah satu cucu Sabeni), “Sabeni mulai dikenal namanya setelah Sabeni mampu menghadapi salah satu jago daerah Kemayoran yang berjuluk Macan Kemayoran ketika hendak melamar puteri si Macan Kemayoran untuk dijadikan isteri.” Selain itu peristiwa-peristiwa lainnya seperti pertarungan di Princen Park (Lokasari) dimana Sabeni berhasil mengalahkan Jago Kuntau dari Cina yang sengaja didatangkan oleh pejabat Belanda bernama Tuan Danu yang tidak menyukai aktivitas Sabeni dalam melatih maen pukulan para pemuda Betawi dan yang sangat fenomenal adalah ketika Sabeni dalam usia lebih dari 83 tahun berhasil mengalahkan jago-jago beladiri Yudo dan Karate yang sengaja didatangkan oleh penjajah Jepang untuk bertarung dengan Sabeni di Kebon Sirih Park (sekarang Gedung DKI). Sampai usia 84 tahun Sabeni masih mengajar maen pukulan (beliau mengajar hampir keseluruh penjuru jakarta bahkan untuk mendatangi tempat mengajar beliau biasanya berjalan kaki), sampai meninggal dunia dengan tenang didampingi oleh murid dan anak-anaknya pada hari Jumat tanggal 15 Agustus 1945 atau 2 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam usia 85 Tahun, beliau dimakamkan di Jalan Kuburan Lama Tanah Abang. Kemudian atas perjuangan Bapak M. Ali Sabeni salah satu putera beliau, Jalan Kuburan Lama Tanah Abang diganti oleh pemerintah daerah DKI menjadi Jalan Sabeni. 
Selain itu di “Tanah Abang” masih terdapat pendekar silat lainnya yang cukup dikenal seperti, Rahmad, Ma’ruf, Derachman Djeni, Habib AM Akhabsji, Satiri dan tokoh lainnya. Kabarnya pendekar dari daerah lain kerap berkunjung ke tanah Betawi untuk memperdalam ilmu silatnya, selain belajar ilmu silat mereka juga saling bersilaturahmi, Menurut Bapak Oong Maryono (Pengamat Pencak Silat) kepada penulis menyebutkan bahwa “Banyak pendekar dari Sunda yang berguru ke daerah Betawi”. Tokoh-tokoh pencak silat dari sunda turut mewarnai khasanah silat ditanah Betawi, misalnya Raden H. Ibrahim (1816-1906) yang dikenal dengan Silat Cikalong pernah berguru dengan bang Kari dan bang Madi. Bang Kari dan bang Madi (Karimadi) cukup tersohor sebagai sumber ilmu silat dari daerah betawi pada zamannya, Dalam dunia persilatan Madi dikenal pakar dalam mematah siku lawan dengan jurus gilesnya, sedangkan Kari dikenal sebagai pendekar asli Benteng Tangerang  (cerita sejenis : puragabaya.blogspot.com)  yang juga menguasai jurus-jurus silat dan ahli dalam teknik jatuhan. Hingga saat inipun keduanya masih menjadi legenda yang tetap tercatat sebagai pendekar dari betawi. Raden H. Ibrahim sebelum berguru dengan bang Kari dan bang Madi, ia pernah tercatat pula berguru dengan seorang pendekar Betawi yaitu bang Ma’ruf di daerah Karet, Tanah Abang. 
Tokoh pendekar lain yang cukup dikenal oleh masyarakat betawi adalah Pitung, Pitung berasal dari kampung Rawabelong Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat, belajar silat dan mengaji dari H. Naipin. Kepandaiannya bermain silat menjadikan Pitung cukup terkenal karena keberaniannya untuk membela rakyat kecil, dengan cara “Merampok”, Pitung memberikan hasil rampasannya tersebut kepada orang-orang miskin yang membutuhkan. Demikian dikemukakan Margreet van Till (Belanda) dalam makalah/disertasinya, In Search of si Pitung, the History of an Indonesia Legend (1996). Sepak terjang Pitung menjadikan dia sebagai incaran belanda, kerena penghianatan kawan seperguruannya Pitung ditembak mati oleh Schout Van Hinne terjadi pada 16 Oktober 1893. Ia lalu dibawa ke rumah sakit dan esoknya meninggal dunia (17 Oktober). Beritanya dimuat dalam Hindia Olanda (edisi 18 Oktober 1893), pada usia yang muda, sehingga menurut cerita pitung belum sempat berkeluarga. 
Betawi memang terkenal dengan tokoh – tokoh persilatan hingga aliran jurus (maenan) yang digunakan seperti Cingkrik, Gie Sau, Beksi, kelabang Nyebrang dan merak ngigel, Naga ngerem dan masih banyak lainnya. Permainan silat Cingkrik dikenal dengan cukup khas sebagai silat betawi pada umumnya. Perkembangan silat cingkrik inipun telah membias ke pelosok-pelosok kampong betawi, sehingga aliran ini memiliki banyak turunannya (aliran). Salah satu turunan antara cingkrik dan cimande adalah aliran Cingkrik Goning, yang merupakan silat betawi warisan dari Engkong Goning yg merupakan pejuang dari wilayah kedoya. Ilmunya kemudian diturunkan kepada Bapak Usup Utay, yang kemudian menurunkan kepada mantunya yaitu Bapak Tb. Bambang, Silat cingkrik secara umum terbagi 2 yaitu Cingkrik Goning dan Cingkrik Sinan. Perbedaannya ialah Cingkrik Sinan menggunakan “ilmu kontak” sementara Cingkrik Goning hanya mengandalkan kelincahan fisik. “Silat ini selalu berusaha untuk masuk dan mengunci lawan, jadi tidak banyak berlama-lama bertukar pukulan atau tendangan.” Ujur Pak Bambang pada penulis saat melatih di Padepokan beberapa waktu lalu. 
Keragaman aliran silat betawi turut diwarnai oleh latarbelakang silat dari daerah lain, seperti silat aliran Sahbandar, Kuntao (Cina) dan beberapa aliran silat dari Sunda. Proses Asimilasi mendapatkan nama aliran ataupun perkumpulan baru. Nampaknya ciri khas dan latarbelakang betawi tetap kuat mewarnai gerakan jurus-jurusnya. Seperti Mustika Kwitang yang berdiri Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, salah satu tokohnya adalah H Muhammad Djaelani, yang lebih dikenal dengan sebutan Mad Djaelani. Ilmu silat Mustika Kwitang, kini diwariskan pada cucunya, sekaligus muridnya, H Zakaria. Akulturasi Ilmu Silat dari Cina dengan betawi bukan hal yang aneh misalnya silat Beksi, atau bek (Pertahanan) dan Sie ( Empat) yang artinya pertahanan empat arah, Tiga pendekar Beksi ( H. Gozali, H. Hasbullah dan H. Nali) dan seorang cina bernama Ceng Ok, mengembangkannya di Betawi (Jakarta). Diperkiraan Aliran Beksi merupakan Silat Betawi yang paling luas penyebarannya di Jakarta saat ini. 
Tidak ketinggalan silat yang datang dari daerah Nusantara contohnya aliran Silat Sahbandar yang dibawa oleh Mamak Sahbandar atau yang lebih dikenal dengan nama H.Mohamad Kosim (1766-1880) yang berasal dari Pagaruyungan, Sumatra Barat. Sebenarnya Sahbandar diperkenalkan di Cianjur namun ilmu beladiri ini berkembang pesat pula Betawi. H. Mohamad kosim wafat pada usia 114 yang dimakamkan di daerah wanayasa, Purwakarta. Silat Betawi pada umumnya menonjolkan permainan menggunakan serangan tangan dan kaki yang sangat cepat, sekitar tahun 1896 terdapat satu perkumpulan silat yang didirikan oleh M. Toha dan H. Odo yang bernama aliran Sin Lam Ba, aliran ini memperkenalkan Silat Tenaga Dalam dan Juga jurus-jurus silat pada umumnya, berkembang pesat di Jakarta hingga saat ini. Sebenarnya masih terdapat banyak aliran silat lainnya seperti silat Serak, dan Gerak Rasa yang juga cukup terkenal di Jakarta.
Setelah jaman kemerdekaan (1945) Jakarta menjadi tujuan Imigran dari seluruh Indonesia, menurut data bapeda pada tahun 1961 suku betawi mencakup kurang lebih 22.9 persen dari 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran Jakarta. Tidak mengherankan bila aliran-aliran silat betawi pun ada yang ikut tergusur yang dibawa oleh murid dari masing-masing aliran dan perkembangan pencak silat pun semakin semarak karena kesadaran dalam upaya mewariskan ilmu beladirinya secara turun menurun kepada keluarga, masyarakat setempat maupun di tempat lain. 
Pelestarian Silat Betawi 
Pencak silat merupakan kekayaan seni budaya bangsa yang penting artinya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu adanya proses pelestarian demi memupuk kesadaran jatidiri bangsa. Gagasan membentuk wadah bagi silat aliran betawi muncul pada tahun 1972, yang bertujuan mempersatukan pesilat betawi ke dalam organisasi Persatuan Pencak Silat “Putra Betawi” pada tanggal 20 Januari 1972. Susunan Pengurus pada waktu itu antara lain, H. Sa’ali SH terpilih sebagai Ketua Umum, Satiri (Sahbandar) ketua I, Machmud Marzuki (PS. Putra Utama) ketua II dan H. Sumarmin (Macan Beatwi) Ketua III. Soekatma sebagai Sekretaris dan Sa’aman sendiri terpilih sebagai komisi teknik. Guru Besar yang mewakili Perguruan yang mendukung wadah ini berjumlah hingga 20 lebih perguruan silat betawi antara lain, PS. Putra Utama (Babe Oetama), PS. Putra Jakarta (Bang Sa’aman), PS. Sapu Jagat (Pak Endang Ms), PS. Sahbandar (TM Satiri), PS. Sutera Baja (Olive), PS. Mustika Kwitang (Zakaria), PS. Genta, PS. Sikak Mas, dan perguruan lainnya. Persatuan Pencak Silat “Putra betawi” pernah bersilaturahmi menghadap Presiden Suharto Pada tanggal 3 Januari 1973. 
Perjalanan PPS. Putra Betawi yang merupakan organisasi yang memberikan wadah bagi perguruan / aliran silat betawi tidak selalu berjalan mulus, organisasi ini pernah vakum selama 10 tahun, dan pada tanggal 24 Mei 1986 dilakukan konsolidasi guna kemantapan organisasi untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan “PPS. Putra Betawi” oleh genarasi penetusnya, dan pada masa itu terpilih H. Daong Makmur Zulkarnaen sebagai pemimpin “PPS. Putra Betawi” pada masa itu. 
Masuk pada tahun milinium, menurut data terdapat lebih 50 aliran atau perguruan silat yang bernafaskan silat betawi, dan memang tidak semua aliran silat ini bisa dijangkau seketika harus ada proses sosialisasi dan pendekatan yang berkelanjutan, inipun beberapa silat yang bernaung dibawah Putra Betawi mulai menghilang dari Jakarta. Proses penelusuran guna menghidupkan beberapa perguruan dilakukan melalui beberapa cara, antara lain “kejuaraan Internal Silat Betawi dan melalui Festival Silat Betawi” tujuannya adalah untuk memantau perkembangan silat betawi agar tetap hidup walaupun tidak sepopuler pada masa lalu. 
Salah satu rencana Putra Betawi kedepan adalah “mengadakan acara Kejuraan khusus silat aliran betawi, karena kami berusaha menjada ke unikan silat ini, bila dibandingkan kejuaraan yang dilakukan IPSI yang sifatnya lebih nasional untuk olahraga prestasi” ujur Deddy Suryadi (Ketua Umum PPS. Putra Betawi). Putra Betawi, terus berupaya mengangkat silat sebagai salah satu kebanggaan warga betawi karena itulah pada senin (21/8/2006) lalu diselenggarakan Festival silat Betawi di Bawah organisasi Putra Betawi, tidak kurang sekitar 23 perguruan siat aliran betawi ikut hadir menyemarakkan acara tersebut. Kegiatan ini bertujuan mendokumentasikan melalui film dokumenter agar silat yang pernah ada dapat selalu terdata, dan diharapkan peran pemuda betawi khususnya dapat bersama-sama memperkenalkan kembali asset tersebut kepada generasi muda lainnya. 
Dokumentasi dan Internet 
Mendokumentasikan silat tradisional dalam bentuk buku dan Video merupakan wacana yang sedang direalisasikan oleh Forum Pecinta dan Pelestari Silat Traddisonal yang beberapa waktu lalu dibentuk oleh kalangan pecinta ilmu beladiri tradisional, mereka saling berinteraksi melalui jalur internet untuk bertukar Informasi mengenai silat yang berkembang di Indonesia. 
Sebagai kegiatan awal Menurut Eko Hadi Selaku koordinator Forum ini mengatakan “Diadaakan pendataan perguruan atau aliran yang masih terdapat diwilayah DKI Jakarta, dipilihnya Silat yang berada di Jakarta karena pada umumnya anggota forum tinggal diJakarta dan sekitarnya, mungkin untuk kedepannya kita akan memiliki wakil-wakil didaerah lain” ujurnya. Sebagai Pilot Project dipilh beberapa aliran Silat khususnya Betawi yang kondisinya cukup mengkwatirkan, contohnya Silat Cingkrik Goning, Silat Pahaman dan Silat Sabeni. Ketiga aliran silat ini telah di dokumentasikan, bahkan dibuka latihan untuk umum di Padepokan Nasional Pencak silat Indonesia Setiap hari sabtu pagi. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan dan berpatisipasi langsung melalui latihan. Kegiatan lain yang cukup penting adalah mengadakan diskusi atau saresehan yang rencananya di adakaan setiap Bulan, diharapkan bagi masyarakat yang ingin mengetahui lebih jauh dapat langsung ikut pada acara saresahan ini di Padepokan Nasioanl Pencak Silat TMII Jakarta. 
Forum ini terbuka untuk umum, sehingga diharapkan partisipasi masyarakat dapat ditampung dalam wadah tersebut, selain itu masyarakat dapat pula mengakses situs yang telah dikembangkan oleh forum ini di alamat www.silatindonesia.com, selain informasi silat tradisional terdapat ragam informasi kegiatan dari perguruan ditanah air. Ditambah kehadiran Mailinglist (milis) di alamat http://silat.4-all.org sebagai jembatan komunitas pencak silat di Indonesia. 
Sepatutnya kita harus berbangga hati karena Pencak Silat sudah berkembang pesat di Negara lain yang saat ini mencapai lebih 20 Negara di 5 Benua, namun sayangnya perkembangan yang pesat di luar negeri tidak di imbangi dengan perkembangan didalam negeri yang kian hari kian menurun. Semoga dengan kerja keras Masyarakat Pecinta Pencak Silat akan hadir image baru dalam dimensi yang memberikan citra terbaik bagi peninggalan nenek moyang kita. 
DATA ALIRAN SILAT BETAWI 

  1. Al Fauziah 
  2. Benteng Betawi 
  3. Cemeti Utama 
  4. Dasa Budhi 
  5. Gerak Sakti 
  6. Gerak Saka 
  7. I.S.K.P 
  8. Kera Putih 
  9. Macan Betawi 
  10. Mustika Kwitang 
  11. Putra Utama 
  12. Pusaka Sapu Jagat 
  13. Purbakala 
  14. Putra Condet 
  15. Putra Jakarta 
  16. Pusaka Jakarta 
  17. Sutera Baja 
  18. Sunda Kelapa 
  19. Sinar Betawi 
  20. Sinh Lam Ba 
  21. P.S.R.I Syahbandar 
  22. Permata Sakti 
  23. Kancing7Bintang 12 
  24. Lembayung Senja 
  25. Waris Pusaka Kwitang 
  26. Tiga Berantai 
  27. Sinar Paseban 
  28. Mutiara 
  29. Segara Mustika 
  30. Papat Kalima Pancer 
  31. Rumpun Betawi 
  32. Jurus Berantai 
  33. Cingkring Goning 
  34. Selendang Putih 
  35. Putra Jaya 
  36. Siku siku hitam 
  37. Bunga Rampai 
  38. Persahabatan 
  39. Beksi Simprug 
  40. Gerak Sanalika 
  41. RTI.Kartika Jaya 
  42. Tangan Kosong 
  43. Ayu Pusaka 
  44. MS.Jalan Enam Pengasinan 
  45. Serasi Betawi 
  46. PS Simpu 
  47. Taqwa Betawi 
sumber:jawara-kampungbangka.blogspot.com
Palm Strike Shockwave (The Power to Destroy)

The Power to Destroy

The Three Types of Destructive Energy used in Martial Arts

By Stefan Verstappen

Originally published in Black Belt Magazine May 07


jumping side kickIf there is one word that can sum up what martial arts teach, that is power. The creation and use of power or energy (Chi in Chinese or Ki in Japan) is the primary focus of many martial arts. Breathing techniques, weight training, conditioning exercises, drills, forms, nutrition, and meditation all are ways of generating and directing energy. All masters know that there are two forms of this energy, the yin and the yang, the creative and the destructive.
Martial arts rightly focus on generating creative energy through fitness, self-discipline, and honor. Nevertheless, a martial artist must also learn to master the dark side of the force, the creation and application of destructive energy. The following describes three types of destructive energy, how they work, and where and how to apply them in combat.
Penetrating Energy
All striking techniques generate one of three types of destructive energy: Penetrating, Crushing, and Transferring.
Penetrating strikes focus energy generated by velocity into a small surface that is directed into the body in such a way that the skin and muscle are forced inward and sometimes torn by the impact of the blow.
Anatomical weapons that utilize penetrating energy include fingertip and second knuckle strikes, lunge punches, knife-hand chops, and side-kicks. Examples of weapons that utilize penetrating energy include the spear, sword, and knife.
Penetrating strikes are best used against soft tissue targets such as nerve clusters, and internal organs. For example, if you were to use a Snake Hand strike (the hand extended flat using the fingertips as the striking surface) against an opponent’s chest, it has no chance of penetrating the sternum and a high chance of breaking your fingers. However, if delivered to the throat, it is capable of lacerating the larynx or blistering the carotid artery, both lethal injuries.
To apply penetrating energy requires you to focus through the intended target. For example, a punch to the solar plexus should be focused through the opponent's body as though attempting to strike the spine rather than the stomach. This helps to neutralize the subconscious tendency to slow down the strike as it nears the target. A simple way to train and test your penetrating strikes is to take an empty cardboard box like the kind your TV or Microwave came in. Then set it on a table and insure there is a clear area all around. Now strike the box using a Snake Hand, Leopard Paw or Phoenix Eye strike. If you can punch clean little holes in the cardboard without the box flying off the table, you will have mastered this method.
Crushing Energy
Crushing energy uses the weapon's mass to focus energy over a larger area to rupture nerves and blood vessels and to break bones. Anatomical weapons that use crushing energy include the head butt, elbow and knee strikes, most punches and kicks. Weapons that use crushing energy include the mace, war hammer, clubs, and baseball bats.
Crushing energy strikes are best directed at areas less massive than the weapon used. For example, a punch to the bridge of the nose can easily crush and break the septal cartilage causing extreme pain and bleeding, but a punch to the forehead will probably break the puncher’s hand instead.
To apply crushing energy, you must engage as much of the body's mass into the strike as possible. To bring the body’s mass into a technique requires that the centre of gravity move along with the impact. For example, in executing a Hammer Fist strike to the opponent's collarbone, you must lower your centre of gravity by bending the knees with the impact. This adds the body's mass to that of the fist. In punching forwards, the legs are used to propel your centre of gravity forward behind the punch as though the arm where a battering ram and the body the carriage. The best way to test and train your crushing power is through breaking techniques.
Transferring Energy
A strike that uses transferring energy causes a concussion by creating a pressure wave that transfers energy directly into the body without penetrating the outer skin and muscle. This principle can be seen in action on the pool table. Using of bit of ‘English’ (backspin), a cue ball striking a stationary billiard ball will come to a complete stop while the billiard ball rolls away with the momentum the cue ball had. The cue ball had transferred all its kinetic energy into the billiard ball. Transferring energy strikes work in the same way, the striking weapon comes to a stop on the surface of the opponent's body but the energy has been transferred into the body in the form of a pressure wave.
Anatomical weapons that employ transferring energy include certain punches, palms strikes, and the roundhouse kick. Because of the complexity this technique, few ancient weapons employed it. To some extent, whips and flails such as the Nunchakus employ transference energy. A bullwhip, while it uses the reverse motion to generate an energy wave, focuses the wave into the whip itself to increase velocity so that the tip becomes a cutting weapon.
A legendary example of a transference strike is the `Heart Palm' strike. The Heart Palm is executed using the heel of the palm and is targeted to the centre of the chest. The energy is transferred through the chest wall and into the heart's pacemaker located just behind the sternum. The pacemaker is a magnetically polarized patch of tissue that regulates the heartbeat. Like an iron nail that has been given a magnetic charge (by rubbing with a magnet), a sudden shock like dropping the nail will cause the nail to lose its charge. So too the pacemaker can lose its magnetic charge through a sudden shock. This can result in a twitching of the heart muscle (ventricular fribulation) and eventually to cardiac arrest if not treated immediately. On the surface, there is no sign of injury since the energy has been transferred through the surface to cause damage internally.
To apply a transferring strike you must incorporate a reverse motion to the technique by drawing back on the strike just before impact. This can be likened to a whip, in order to `crack' the whip you must pull back just before the end of the swing. This pulling back is best done by using the waist and is called Silk Reeling in the Chinese styles. For example, to add concussion energy to a reverse punch, your hips should first shift forwards throwing the weight of the body into the punch, but just before impact, the hips shift back so that the kinetic energy behind the punch travels into the target but the fist does not.
To train and test you concussion strikes, set up a candle on a table, clear the area, and be prepared to have hot wax splashed across the room. Aim a punch or palm strike directly at the flame but make sure you stop short about an inch away from the flame. Done correctly, the flame will be extinguished with a slight popping sound. Done incorrectly, and you usually have a mess to clean up.
Conclusion
These three destructive forces have been used in warfare since earliest time. The spear, club and flail are probably the earliest weapons invented that use these three forces. Even modern warfare employs these time-honored principles. For example, to disable armored vehicles the military developed three weapons. The SBOT round, which is a sharp hard projectile made from depleted uranium designed to Penetrate the vehicle’s armor. The HEAT (High Explosive Anti Tank) round uses high explosive to Crush a vehicle, and the old fashioned bazooka or Panzerfaust uses the Transference principle to blast off a scab of amour plating from the interior sending chucks of metal ricocheting inside the vehicle.
The martial arts teach not only how to develop strength and power but also the knowledge and skill to deliver the three types of destructive energy to their appropriate targets. A side-kick to the solar plexus (Penetrating), a hammer-fist to the brachial plexus (Crushing), or a  palm strike to the forehead (Concussion), will often instantly knock an attacker unconscious while causing him or her the least injury. In this way, even the dark side of the force can be used for good, to protect you and you family, and cause the least amount of harm in return.

source:.chinastrategies